Jumat, 06 September 2013

Home » , » Freeport Indonesia Masih Menyimpan Seluruh Devisa Ekspornya di Luar Negeri

Freeport Indonesia Masih Menyimpan Seluruh Devisa Ekspornya di Luar Negeri

137848002046794208
Tambang Grasberg milik Freeport Indonesia di Papua.(ANTARA/Spedy Paereng)
Situasi perekonomian yang sulit kembali dihadapi negeri ini. Nilai tukar rupiah kini sudah menembus Rp. 11.000 per dollar AS. Tingkat inflasi bakal berada di atas 9 persen. Bank Indonesia, pekan lalu, memerlukan rapat darurat untuk memutuskan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7 persen. Pilihan BI ini jelas berat karena akan mengorbankan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah punya konsekuensi begitu luas. Di tengah upaya mengurangi tingkat penggangguran yang masih lebih dari 7,17 juta orang, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi mutlak perlu untuk menciptakan lapangan kerja. Tugas semakin berat karena lebih dari 2,1 juta orangmemasuki lapangan kerja setiap tahun. Mempertahankan mereka yang sedang bekerja saja menjadi beban lainnya.
….
Runyamnya impor Indonesia masih tetap tinggi. Paling akhir terlihat dari defisit neraca perdagangan pada Juli 2013 yang mencapai 2,3 miliar dollar AS. Impor masih tetap besar. Dampak inflasinya juga akan tetap besar. Paket kebijakan ekonomi yang baru dikeluarkan untuk menekan impor juga belum efektif. Paket yang sangat terlambat karena angka defisit itu sudah berlangsung sejak 2012.
….
(Kompas, Jumat, 6 September 2013).
Demikianlah gambaran singkat situasi perekonomian Indonesia saat ini dan entah sampai kapan yang dimuat di Harian Kompas hari ini.
Indonesia memang dari dulu terkenal sebagai salah satu negara pengimpor terbesar di dunia. Ironisnya, semakin lama justru semakin besar tingkat impornya. Apa-apa semua diimpor. Mulai dari kebutuhan pokok sampai dengan barang-barang konsumerisme. Barang-barang konsumerisme yang diimpor pun mulai dari kelas super mewah sampai dengan kelas (aksesoris) ecek-ecek.
Masalah kenaikan harga berbagai bahan pangan selalu diatasi dengan cara-cara instan: impor. Harga beras naik, impor. Harga daging sapi naik, impor. Harga bawang merah dan putih naik, impor. Harga gula naik, impor. Harga cabe naik, impor. Harga kedelai naik, impor, dan seterusnya.
Tak heran devisa Indonesia pun terus terkuras drastis, karena masih sangat tergantung dengan impor.
Sekarang, ketika rupiah semakin melemah seperti ini, bukankah menjadi bumerang bagi importir juga? Mengimpor barang dengan nilai dollar AS, jual dengan harga rupiah yang tinggi. Barang pun menjadi sulit dijangkau harganya. Tak ada pembelinya. Ekonomi pun lesuh.
Semuanya itu menjadikan lingkaran setan bagi perekenomian Indonesia. Karena diduga kuat banyak “setan-setan ekonomi”, para spkekulan, kartel, mafia, dan lain-lain pun ikut bermain di dalamnya.
Di tengah-tengah krisis devisa seperti ini, terpetik berita bahwa ternyata selama ini perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia yang beroperasi Timika, Papua, PT Freeport Indonesia, mengaku tidak menyimpan uang hasil ekspor produk mineral mereka itu di Indonesia. Alasannya karena belum ada peraturan yang mewajibkan mereka melakukan hal itu.
Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto menyatakan, penyimpanan hasil ekspor, atau devisa hasil ekspor (DHE) PT Freeport Indonesia itu sudah sejak awal tidak pernah disimpan di Indonesia. Semua hasil ekspor tembaga dan emas dari Papua, Indonesia itu, disimpan di bank di luar negeri. “Sejak dulu, kan begitu (simpan hasil ekspor di luar negeri). Itu ‘kan sudah puluhan tahun,” ujar Rozik, Kamis, 05/09/13 (Jawa Pos).
Dia mengatakan sampai sekarang pun Freeport masih menyimpan uang hasil ekspornya di luar negeri. Sebab tidak ada aturan yang mewajibkan harus disimpan di bank di Indonesia. Karena itu, Freeport menilai tidak perlu melakukan hal itu. “Kalau tidak ada aturannya, bagaimana ? Selama tidak ada (kewajiban) kita akan pakai (kebiasaan) yang lama,” ungkapnya.
Rozik yang juga adalah mantan pejabat Kementerian Pertambangan dan Energi (kini ESDM) serta menteri pekerjaan umum pada era Presiden Abdurrachman Wahid itu beralasan aturan wajib menyimpan DHE di bank devisa dalam negeri tidak ada di dalam kontrak karya yang ditandatangani Freeport dengan pemerintah Indonesia sejak 1967. Berbekal kontrak karya itulah Freeport merasa tidak perlu mengikuti aturan DHE yang diterbitkan Bank Indonesia.
Aturan tentang DHE yang diterbitkan Bank Indonesia itu adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/20/2011 (3 Oktober 2011) tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, yang antara lain mewajibkan seluruh perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia wajib menyimpan uang hasil ekspornya (DHE) di bank-bank devisa di dalam negeri. Jika tidak dilakukan, akan dikenakan sanksi, antara lain berupa larangan ekspor.
Meskipun telah ada PBI itu, perusahaan-perusahaan pertambangan migas dan mineral asing yang beroperasi di Indonesia menolak untuk memenuhinya. Mereka selalu berlindung di balik kontrak karya, yang dikatakan tidak mengatur soal itu.
Padahal, seperti yang pernah dikatakan Deputi Pengendalian Keuangan SKK Migas Akhmad Syakhroza (detik.com, 11/02/13), dalam PBI itu dan berdasarkan Surat Gubernur Bank Indonesia Bank Indonesia Nomor 14/3/GBI/SDM, tanggal 30 Oktober 2012 ditegaskan bahwa perusahaan-perusahaan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) tidak dikecualikan dalam kewajiban menyimpan DHE-nya di bank devisa di Indonesia.
Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan pertambangan asing itu tetap saja tidak mau memenuhi ketentuan itu. Bukan hanya PT Freeport Indonesia, tetapi juga perusahaan-perusahaan pertambangan asing lainnya, seperti perusahaan-perusahaan migas dari Amerika Serikat,  Chevron, ExxonMobil, dan ConocoPhilips.
Merespon penolakan dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan itu, pada Desember 2012, Bank Indonesia kembali menerbitkan PBI Nomor 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri untuk mempertegas peraturan Bank Indonesia sebelumnya. Di situ dicantumkan batas waktu yang harus dipenuhi semua perusahaan tambang di Indonesia dalam menyimpan uang hasil penjualan (ekspor)nya paling lambat tanggal 30 Juni 2013.
Subtansi maksud dari dikeluarkan aturan itu oleh BI adalah untuk memperkuat pasokan valuta asing di sistem keuangan Indonesia, sehingga stabilitas nilai tukar bisa dijaga. Sebagai contoh saja, pada semester pertama 2013, PT Freeport membukukan pendapatan sebesar 6,03 miliar (lebih dari Rp. 60 triliun) dari penjualan (ekspor) tembaga dan emas dari tambang Grasberg di Papua. Semua hasil penjualan itu disimpan di bank di luar negeri.
Meskipun pada awalnya tetap menolak melaksanakan PBI tentang wajib simpan DHE di Indonesia itu, untuk perusahaan-perusahaan migas asing, seperti Chevron, ExxonMobil, dan ConocoPhilips, melalui koordinasi antara BI dengan SKK Migas, akhirnya mereka bersedia menyimpan DHE-nya di Indonesia.
Yang kebanyakan masih membandel adalah perusahaan-perusahaan tambang mineral asing. Salah satunya yang terbesar adalah PT Freeport Indonesia ini.
Lalu, kenapa BI tidak menggandeng Kementerian ESDM untuk mendesak perusahaan tambang mineral, seperti Freeport itu melaksanakan Peraturan Bank Indonesia itu?
Direktur Eksekutif Direktorat Komunikasi Bank Indonesia, Difi Johansyah mengatakan, “Posisi BI adalah otoritas moneter. Karena itu, kementerian teknis yang harus proaktif.”
Menurut Difi, dalam kondisi likuiditas valas yang terbatas, semua pihak mestinya bisa bekerja sama untuk menarik DHE yang selama ini disimpan di luar negeri untuk memperkuat pasokan valas di Indonesia. “Kalau tidak, rupiah akan terus tertekan,” ujarnya (Jawa Pos, Jumat, 06/09/2013).
Pengamat Ekonomi dan Perbankan Tony Prasentiantono pernah menyarankan kepada pemerintah Indonesia agar mau meniru Tiongkok dalam mengelola devisanya. Di Tiongkok, ada kewajiban bagi setiap ekspoter, termasuk perusahaan-perusahaan asing, untuk menyimpan hasil penjualan ekspornya di bank-bank devisa di Tiongkok. Tidak boleh sembarangan mengirimnya ke luar Tiongkok.
Toni mengatakan, dengan sistemnya itu, Tiongkok berhasil menarik devisa hasil ekspornya masuk ke sistem perekonomian domestik mereka. Tiongkok bisa berkembang karena kemampuan mereka memberi daya tarik bagi investornya. Cadangan devisa Tiongkok saat ini mencapai lebih dari 3 triliun dollar AS, terbesar nomor satu di dunia.
Yang mengherankan adalah kenapa seolah-olah baru sekarang pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia menyadari betapa pentingnya sistem yang membuat eksporter dan investor asing untuk tidak menyimpan DHE-nya di luar negeri, sehingga baru membuat regulasinya sekarang? Itu pun masih tersendat-sendat jalannya. Pemerintah seolah-olah takut dengan perusahaan-perusahaan asing itu. Padahal ini di rumah sendiri, yang dieksplorasi juga hasil tambang dari perut bumi Indonesia. Perusahaan-perusahaan tambang asing itu juga pasti takut kalau tidak diizinkan lagi mengeksplorasi  di Indonesia. Seharusnya posisi tawar Indonesia lebih kuat, tetapi oleh pemerintah RI dibuat menjadi sebaliknya.
Orang seperti Rozik B. Sutjipto, Direktur Utama PT Freeport Indonesia pastilah tahu bahwa Indonesia sangat memerlukan devisa, dan selama ini tindakan Freeport yang selalu menyimpan DHE-nya di luar negeri, dengan mengabaikan PBI, tentu sangat merugikan Indonesia. Tetapi, kenapa yang dia bela adalah Freeport, yang nota bene milik orang asing? Apakah karena dia bekerja di sana, takut jabata tingginya itu hilang? Maka mendingan membela Freeport daripada negaranya sendiri? ***

Sumber bahan diolah dari:
- Harian Jawa Pos, Jumat, 06/09/2013
- Harian Kompas, Jumat, 06/09/2013
- Detik.com, 11/02/2013
- Tempo.co, 27/09/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar