Rabu, 04 September 2013

Home » » Kelestarian Jamu Sebagai Warisan Dunia Ada di Tangan Kita

Kelestarian Jamu Sebagai Warisan Dunia Ada di Tangan Kita



Satu lagi kebudayaan Indonesia yang masuk dalam daftar warisan dunia oleh lembaga UNESCO PBB sebagai intangible cultural heritage atau warisan kebudayaan tak-benda yaitu jamu. Penghargaan yang diterima jamu ini setara dengan yang telah diterima batik, angklung, rendang, tari saman, dan sebagainya. Sayangnya, perhatian terhadap jamu lambat laun semakin menurun, sehingga memungkinkan punahnya kelestarian jamu-jamu tertentu. Nah, apa sebenarnya penghambat –penghambat dan bagaimana sebaiknya sikap kita untuk menjaga kelestarian jamu?

Anggapan Jamu Kuno, Tidak Ilmiah dan Tidak Sesuai Zaman

Memasuki era globalisasi, paradigma modernisme atau cenderung ke arah westernisme semakin merasuki kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat modern. Gaya hidup kebarat-baratan sudah semakin menjamur berkat bantuan teknologi, seperti lebih menyukai makanan fastfood, pakaian dan asesoris bermerk internasional, penggunaan gadget, produk kosmetik dan obat-obatan impor, dan lain-lain. Gaya hidup semacam ini bila dibiarkan secara pelan-pelan bisa menggerus eksistensi kebudayaan lokal tidak terkecuali untuk jamu.

Berbeda dengan zaman dulu yang menganggap jamu adalah gaya hidup kebutuhan untuk hidup sehat. Sebaliknya, kini stereotype negatif masyarakat mengenai jamu adalah kuno, tidak ilmiah, dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga menjadi alasan utama yang menghambat perkembangan jamu itu sendiri. Disisi lain jamu masih dianggap sebagai alternatif pengobatan selain obat-obat dari dokter. Tidak cuma itu, anggapan rasa pahit yang sulit dihilangkan, kadang memberikan trauma untuk beberapa orang yang tidak terbiasa.

Terjadi Dikotomi Antara Pengobatan Modern dan Tradisional
Awalnya, Sebelum terpengaruh ilmu kedokteran modern dan farmasi modern, penggunaan jamu zaman dulu mengambil peran penting didalam sistem perawatan rumah tangga, jauh sebelum adanya dokter dan obat. Bila ada orang yang sakit, pada tindakan pertama yaitu anggota keluarga yang mencari ramuan menurut pengalaman dan pemikiran sendiri untuk mengharapkan kesembuhan. Ramuan-ramuan tersebut di Indonesia kemudian dikenal dengan istilah jamu. Tidak itu saja, jamu juga pernah berjasa pada zaman revolusi Indonesia berkecamuk tahun 60-an. Saat itu obat hampir tidak ada sehingga para dokterpun terpaksa ikut menggunakan cara-cara dan ramuan yang lazim dipakai oleh rakyat setempat dengan hasil memuaskan.
Berkaca dari sejarah tersebut sebaiknyanya para praktisi ilmu kesehatan modern baik dokter maupun apoteker lebih menghargai budaya lokal nenek moyang yaitu dengan tidak menciptakan dikotomi keduanya. Seperti berusaha untuk mengkaji dan meneliti sehingga kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia tidak terlalu tergantung pada ekspor obat-obatan dari luar negeri. Melainkan melakukan riset akan khasiat tanaman – tanaman jamu yang kandungannya juga bisa bermanfaat bagi ilmu kesehatan modern.

Anggapan Produksi Jamu Yang Keliru
Salah satu lagi alasan mengapa jamu masih kurang peminatnya adalah persepsi negatif terhadap jamu yang dianggap kurang aman dikonsumsi. Padahal, bila dosis dan diagnosa yang tepat, kecil kemungkinan terjadi hal fatal seperti keracunan. Persepsi negatif itu sering kali lebih disebabkan oleh dua hal utama yaitu produsen yang “nakal” dan konsumen yang sembarangan melakukan diagnosa pribadi. Beberapa waktu lalu santer pemberitaan dimedia massa mengenai penyitaan beberapa merk jamu produksi rumahan yang disinyalir menambahkan bahan kimia yang bisa berbahaya bagi konsumen.

Banyak juga kasus salah memilih dan dan meminum jamu hanya karena yang membuat diagnosa adalah sikonsumen sendiri. Sedang penjualnya hanya berurusan dengan laku tidaknya barang dagangan. Maka itu diperlukan pembinaan dan penyuluhan terutama kepada penjual atau penyalur atau agen-agen penjualan jamu agar memiliki pengetahuan dan pengertian dasar tentang jamu sehingga nanti bisa memberi nasihat kepada konsumen tentang penggunaan jamu yang paling tepat.




beberapa macam jenis jamu (sumber: kopihijau.info)

Untuk menjaga kelestarian jamu perlu dilakukan pemberdayaan disegala sektor untuk meningkatkan kualitas jamu baik sebagai kebudayaan maupun sebagai pengobatan. Serta perlunya dilakukan kerjasama antar elemen masyarakat antara lain instansi pemerintah seperti Kementrian Pendidikatan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Kementrian Perdagangan dan Ekonomi Kreatif, Kementrian Pertanian (Kementan), Kementrian Pariwisata dan pemerintah daerah. Sedangkan dukungan dari pihak swasta yang tidak kalah penting yaitu produsen industri jamu, para penjual dan agen penyalur, petani tanaman jamu, dokter, apoteker, dan traditional health-practitioners (istilah yang digunakan WHO / Badan Kesehatan Dunia) untuk praktisi kesehatan non medis), dunia pendidikan kesehatan, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat sebagai konsumen.

Mengenal dan Memperkenalkan Jamu

Jamu tidak melulu pahit, tidak melulu obat, dan tidak melulu kuno maupun tidak ilmiah tetapi jamu sebenarnya kaya akan nilai. Memang terdapat mitos bahwa semakin pahit jamu maka semakin manjur. Dalam pengertian sekarang telah diketahui bahwa tingkat kepahitan menunjukkan adanya zat alkaloida tidak tanpa batas. Artinya, rasa pahit yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan pencernaan kita. Oleh leluhur yang mewariskan jamu menyiasatinya dengan saling menetralisir efek racun satu sama lain tanpa mengurangi khasiatnya. Misalnya, dengan menambahkan adas pulosari atau adas pulowaras yang diketahui dapat menghangatkan badan dan menstimulasi kelenjar-kelenjar. Adapun jamu yang tidak pahit biasanya diminum setelah yang pahit berfungsi sebagai penawar seperti beras-kencur, kunyit asam, dan sebagainya.

Selain fungsinya sebagai obat, jamu juga berperan dalam dunia kosmetik. Misal bengkoang dan mangir untuk mencerahkan warna kulit, urang-aring untuk menghitamkan rambut, jeruk nipis untuk mengurangi ketombe, ketimun untuk perawatan wajah, daun jati belanda untuk pelangsing dan masih banyak lagi fungsi lainnya. Konsumenpun diberikan pilihan untuk mengolahnya sendiri atau langsung membeli produk instan yang sering kali sudah disediakan dalam bentuk kemasan. Hal ini bersifat relatif, untuk pengguna jamu daerah perkotaan akan lebih memilih membeli secara instan baik melalui warung jamu atau penjaja jamu gendong. Sedangkan, yang didaerah pedesaan bisa mengolah sendiri melalui tanaman yang sudah disediakan oleh alam.


Penjaja Jamu Gendong (Sumber: id.wikipedia.org)

Jamu kini sudah menjadi industri besar diIndonesia, ketika perusahaan telah berhasil menciptakan produk jamu yang berkualitas dan ditangani oleh manajemen yang ahli, jamu mampu berkembang tidak hanya sebagai produk nasional tapi juga internasional. Beberapa contoh produk jamu yang berhasil menjadi industri besar yaitu Sido Muncul, Sariayu, dan Mustika Ratu. Dan pastinya akan disusul oleh merk-merk dagang lain yang akan turut meramaikan pasar jamu diIndonesia. Motto pengusaha industri jamu yang menyatakan ramuan alami yang diolah dengan teknologi modern tampaknya semakin mendapat sambutan baik dimasyarakat.

Pembudidayaan Tanaman Obat

Pengetahuan tentang jamu termasuk ilmu kuno warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Sebaiknya ilmu kuno yang bermanfaat ini disebarkan secara luas oleh masyarakat, sehingga peran serta masyarakat secara aktif dapat lebih menonjol. Salah satunya dengan menanam tanaman obat atau yang biasa dikenal dengan apotik hidup baik dalam skala kecil maupun skala besar. Keuntungan yang diperoleh dari apotik hidup antara lain membantu kelestarian alam dan keanekaragaman hayati. Perlu kita pahami bahwa kepunahan suatu tanaman diisebabkan oleh ketiadaan bibit dan tunas baru. Dapat memperoleh obat secara murah atau gratis karena dengan cara meramu obat sendiri. Menjadi sumber gizi keluarga seperti tanaman jambu biji, pepaya, pisang, sawo, dan sebagainya. artinya ketika tidak diperlukan untuk pengobatan bisa sebagai sumber makanan.


Apotik Hidup (Sumber: Sidomi.com)

Keuntungan yang lain yaitu sebagai bumbu dapur rumah tangga. Sejumlah tanaman obat yang dalam kehidupan sehari-hari dipergunakan sebagai bumbu dapur, misalnya jahe laos, serai, temukunci, kunyit, dan sebagainya. secara tidak langsung masyarakat juga turut andil dalam gerakan penghijauan, karena menanam tanaman obat berarti juga menambah jumlah tanaman. Jika apotik hidup diadakan didaerah perbukitan yang terancam erosi maka bermakna pula pencegahan terhadap tanah longsor dan penanggulangan banjir.

Jamu tradisional dan Perawatan Medis yang Saling Melengkapi

Pada saat ini dunia kesehatan mulai menyadari adanya bahaya tersembunyi dibalik penggunaan obat modern yang dikonsumsi secara berlebihan. Maka perhatian dunia sudah mulai tertuju pada pengobatan tradisional yang telah terbukti menyelamatkan manusia dari kepunahan. Disamping itu, tidak berarti menafikkan jasa perawatan medis modern yang telah berjasa menanggulangi penyakit endemik seperti cacar, TBC, kusta, dan sebagainya yang pada zaman dulu penderita harus dikucilkan. Namun sayangnya semakin maju dunia medis, semakin banyak pula penyakit yang menghinggapi manusia yang dulunya dianggap langkat atau bahkan belum ada seperti penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, kanker, dan sebagainya. itulah sebabnya semakin banyak himbauan untuk kita kembali kepada kearifan alam, mengubah pola hidup yang super modern kembali kepada cara-cara yang wajar.

Sudah diakui baik oleh WHO maupun pada cerdik cendekiawan kita, bahwa pengobatan secara modern di Indonesia belum mampu menjangkau 100% seluruh warga negara Indonesia secara merata. Terlebih biaya kesehatan masih terbilang cukup tinggi, tentunya belum dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Disisi lain tenaga medis yang sangat terbatas didaerah pedalaman, sehingga perlu pengobatan alternatif yang tidak selalu dalam bentuk obat-obatan yang diresepkan oleh dokter.

Ketergantungan dari obat-obatan bahan baku impor yang masih lebih dari 70%, sudah selayaknya dunia farmasi mulai berteman dengan para petani. Untuk mandiri dalam bidang farmasi mau tidak mau kita mengharapkan suplai bahan baku berupa tanaman berkhasiat dari hasil hutan dan ladang sendiri. Selain dapat menghemat pengeluaran untuk biaya impor, menggalakkan pertanian obat juga berarti pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian diharapkan usaha pemerintah untuk meratakan pelayanan kesehatan masyarakat, dapat cepat dirasakan, karena masyarakat diajak mengenal dan memakai kembali pusaka peninggalan nenek moyang kita berupa pemanfaatan jamu untuk kesehatan dan kebudayaan agar terhindar dari kepunahan. Dan ditangan kita semualah jamu dapat dilestarikan dan semakin diperkenalkan sebagai warisan kebudayaan dunia.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar