Rabu, 26 Maret 2014

Home » » Deret Film Terlarang bagi Masyarakat Indonesia

Deret Film Terlarang bagi Masyarakat Indonesia


Salah satu adegan film (Noah Movie)

Dunia Informasi – Meski demokrasi telah bergaung, tak serta merta keran kebebasan mengalir tanpa batas di Indonesia. Masih ada lembaga yang bertugas menyensor informasi demi menjaga stabilitas negara.

Salah satunya, Lembaga Sensor Film (LSF) yang mengemban amanah menyensor masuknya ekspresi seni visual ke Indonesia. LSF berhak menyatakan film luar maupun dalam negeri boleh tayang atau tidak.

Belakangan, kiprah LSF kembali mencuat lantaran baru saja melarang film garapan sutradara Darren Aronofsky, Noah untuk tayang di Indonesia. Alasannya, menyangkut soal SARA. Tak hanya Noah, berikut beberapa film yang juga pernah dilarang edar di Indonesia.

Noah (2014)

Baru-baru ini, film Noah tidak mendapat lampu hijau dari LSF untuk masuk ke Indonesia. LSF khawatir, film ini menimbulkan kontroversi karena kental akan unsur SARA.

Film ini sejatinya mengisahkan perjalanan Nabi Nuh yang harus membuat bahtera atas perintah Tuhan. Ceritanya diadaptasi dari Kitab Injil. Dikhawatirkan, itu akan menimbulkan penolakan di kalangan masyarakat yang mayoritas beragama Islam.

Noah dibintangi Russell Crowe, dan Jennifer Connelly memerankan Nameeh, istri Nuh. Bintang Harry Potter, Emma Watson, juga berperan sebagai anak Nuh.

Rencananya, film ini akan tayang serentak pada 28 Maret 2014 mendatang. Namun, masyarakat Indonesia takkan bisa menikmatinya.

Tak hanya di Indonesia, Noah juga dilarang tayang di tiga negara Arab: Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab. Sebabnya, Noah dianggap menyalahi ajaran agama karena menggambarkan sosok nabi dalam konteks seni.

Balibo (2009)



Film ini dibuat berdasar fakta “Balibo Five”, tragedi terbunuhnya lima wartawan yang meliput invasi Indonesia ke Timor Timur tahun 1975. Kisah itu sendiri terekam dalam buku Cover-Up tulisan Jill Jolliffe.




Balibo merekam jelas konflik yang terjadi di Timor Timur kala itu. Tokoh Ramos Horta pun diperankan dengan baik oleh Oscar Isaac. Disutradarai Robert Connolly, film diproduksi sejak 31 Juli 2008 di Dili.




Usai diproduksi, film buatan Australia ini justru dilarang edar di Bumi Pertiwi. LSF menyatakannya tak lulus sensor. Padahal, akhir tahun 2009 film itu sudah nyaris diputar di Blitz Megaplex Grand Indonesia.




Namun jelang pukul tujuh malam, ultimatum larangan diumumkan. Alasannya tidak jelas. Kemungkinan besar, untuk menutupi fakta kekejaman tentara Indonesia di Timor Timor pada masa itu.




Meski begitu, Balibo telah beredar sebagai DVD bajakan. Di beberapa negara, film itu juga sudah diputar. Bahkan saat pemutaran perdana di Melbourne International Film Festival, 24 Juli 2009, Ramos Horta dan keluarga jurnalis yang terbunuh tahun 1975 dihadirkan.




Long Road to Heaven (2007) Betapa “panas” Bali saat bom meledak pada 12 Oktober 2002, direkonstruksikan kembali lewat film ini. Film ini mempertemukan tiga plot dengan tokoh-tokoh yang berbeda.




Pertama, sekelompok teroris yang merencanakan pengeboman. Dari target awal Singapura, Mukhlas menyarankan Hambali agar mengubahnya jadi daerah yang lebih realistis: Bali.




Pilihan disetujui. Lantas Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Imron mempersiapkan teknis pengeboman di Pulau Dewata. Mereka memilih Paddy Club dan Sari Club sebagai sasaran.




Di sisi lain, seorang turis terbangun saat bom mengguncang malam. Ia pun ikut membantu para korban di tengah hiruk-pikuk Bali yang membara. Ia bahu-membahu dengan seorang haji yang merasa terluka karena generalisasi stereotip teroris kepada seluruh umat muslim.




Meski peristiwa itu sudah bertahun-tahun lewat saat film muncul, masyarakat Bali tetap dilarang menontonnya. Dikhawatirkan, film ini membuka luka lama masyarakat.




“Kami takut orang-orang yang tidak mengerti akan memicu konflik dan kebencian pada kelompok tertentu,” kata I Gusti Ngurah Gde, kepala lembaga perfilman di Bali kala itu.



True Lies (1994)

Pada prinsipnya, True Lies merupakan film komedi Amerika. Namun, kisahnya sedikit menyinggung soal terorisme. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, film ini pun dilarang.

Disutradarai James Cameron, True Lies mendapuk Arnold Schwarzenegger dan Jamie Lee Curtis sebagai pemeran utama. Lewat film ini, Curtin menyabet piala Golden Globe sebagai Aktris Terbaik.

Film ini menceritakan kehidupan ganda yang dijalani Harry Tasker (Schwarzenegger). Di mata keluarganya, ia seorang penjual komputer yang kesehariannya membosankan.

Namun di sisi lain, Harry juga melakoni misi rahasia pemerintah untuk menanggulangi terorisme. Ia menonjol di satuan Sektor Omega. Dan suatu kali, Harry mendapat tugas memberantas kelompok terorisme Palestina yang dipimpin Salim Abu Aziz.

Di saat sang istri tengah menyiapkan pesta ulang tahun untuknya, Harry dikejar-kejar anak buah Aziz. Keluarganya pun jadi terlibat. Istri dan anaknya diculik. Mau tak mau, Harry harus jujur soal identitasnya dan menyelamatkan mereka.

True Lies bisa dibilang film termahal yang pernah dibuat. Biayanya kala itu US$100 juta. Pendapatan yang diraupnya mencapai US$378 juta. Sayang, adanya unsur terorisme muslim membuat film terlarang.

Schindler’s List (1993)

Drama sejarah ini mengangkat tema soal Yahudi dan Nazi. Film berkisah soal pengusaha Yahudi yang berjuang menyelamatkan bisnisnya di tengah tekanan tentara Nazi.

Bisnis itu tak hanya penting bagi dirinya pribadi, tetapi juga menjadi tempat berpegang masyarakat Yahudi lain yang dipekerjakan olehnya. Schindler, pengusaha itu, sampai rela menyuap tentara Nazi dalam jumlah besar. Ia pun jadi penyelamat ribuan nyawa Yahudi dari kekejaman Holocaust.

Sutradara Steven Spielberg mampu membuat film ini begitu dramatis dan menyentuh. Tak heran, film itu sukses menempati Box Office Amerika Serikat. Film ini juga menyabet tujuh Academy Awards dari 12 nominasi yang didudukinya.

Sayang, film yang diangkat dari buku Schindler’s Ark karya penulis Australia Thomas Keneally ini dilarang di Indonesia. Alasannya, karena film dinilai terlalu bersimpati pada kaum Yahudi.

The Year of Living Dangerously (1982) Kondisi Indonesia di tahun 1965 menarik bagi sutradara Peter Weir. Ia membuat visualisasi dengan mengadaptasi novel The Year of Living Dangerously karya Christopher Koch.

Kisahnya, hubungan cinta yang terjadi di masa penggulingan presiden pertama RI, Soekarno. Mel Gibson didapuk sebagai tokoh utama, seorang jurnalis Australia yang kebetulan ditugaskan di Jakarta.

Di Tanah Nusantara, ia bertemu asisten Kedutaan Inggris yang cantik. Keduanya terlibat kisah cinta. Sementara itu, Guy Hamilton (Gibson) juga menuntaskan pekerjaannya dengan investigasi soal Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mengingat latar film yang begitu sensitif, The Year of Living Dangerously pun dilarang tayang, setidaknya sampai tahun 1999 saat akhirnya reformasi bergulir. Bukan hanya suasana PKI dan penggulingan Soekarno yang menyebabkannya “haram”.

Rupanya, The Year of Living Dangerously diduga sama seperti kutipan yang sering diucapkan Soekarno. Yakni, “Vivere Pericolosamente”. Soekarno pernah menyebutkannya dalam pidato kemerdekaan Indonesia tahun 1964. Istilah itu berarti “hidup yang berbahaya”, sama seperti arti judul buku dan film.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar