Didorong semakin melambungnya harga bahan bahan bakar minyak, Soelaiman Budi Sunarto tergerak mencari energi alternatif yang bisa menggantikan minyak. Dibantu oleh beberapa tenaga muda, di tahun 1998, Budi mencoba mengumpulkan sampah-sampah di sebuah rumah yang sengaja dibelinya di Desa Doplang, Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah.
Diakui oleh Budi, sebenarnya bioetanol bukan barang baru. Namun sayang, bioetanol kurang mendapat perhatian dari masyarakat, karena kurangnya sosialisasi penggunaan bioetanol. Masyarakat Indonesia sangat bergantung dengan BBM yang berasal dari fosil yang tidak dapat diperbarui.
Menurut Budi, dibandingkan dengan negara Brazil yang sudah mulai mensosialisasikan penggunaan bahan bakar campuran etanol dengan bensin sejak tahun 1976, di Indonesia kebijakan tersebut belum dijalankan. Meskipun sudah ada aturan Presiden tentang penggunaan bahan bakar lainnya selain BBM, namun belum dijalankan sepenuhnya.
Tak heran SPBU di Brazil yang dikelola Petrobras menyediakan dua tipe bahan bakar, yaitu etanol dan bensin. Brazil menggunakan produksi tebu sebagai bahan baku bioetanol, dan sudah diproduksi secara massal.
“Bahkan, komposisi penggunaan bioetanol dengan bensin di Brazil juga diatur. Besarannya pun beragam, mulai dari 10 persen sampai 22 persen. Hingga Juli 2007, penggunaan bahan bakar mobil menjadi 25 persen etanol dan 75 persen bensin,” papar Budi, kepada wartawan, di Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (11/11/2013).
Awalnya, dalam produksi skala kecil untuk konsumsi terbatas bioetanol, Budi mencoba membuat bioetanol dari bahan singkong. Dan hasil racikannya tersebut, berhasil digunakan sebagai bahan bakar motor.
Tak berhenti sampai di situ, Budi mencoba membuat bioetanol hasil penyulingan dari berbagai jenis tanaman, seperti ubi kayu, jagung, sorgum biji, sagu, serta tanaman yang berglukosa seperti tebu, sorgum manis, bit dan serat jerami, bahan limbah bekas kayu gergaji, hingga ampas tebu.
Dan hasilnya, setelah melalui beberapa proses, sekali lagi, bisa digunakan sebagai bahan bakar motor. Selain membuat bioetanol dari tumpukan sampah, Budi membuat instalasi sederhana yang mengubah sampah menjadi gas, bensin, dan listrik. Hasil dari temuannya tersebut, kemudian disalurkan ke masyarakat setempat secara gratis.
“Bioetanol bisa dijadikan sumber energi alternatif, karena persediaan bahan bakar minyak bumi semakin menipis. Selain mudah dan murah, bioetanol bisa menggantikan minyak bumi,” terangnya.
Melalui staf Budi bernama Larsi, dia menjelaskan bagaimana proses pembuatan bioetanol menggunakan peralatan yang sangat sederhana, yaitu albakos, alat biogas konsumsi sampah.
Alat itu memiliki tinggi sekira 95 sentimeter dengan diameter tabung 50 sentimeter, mampu menampung enam kilogram sampah organik kering, seperti sabut kelapa, dedaunan, kayu dan batang padi sisa penggilingan.
Dengan peralatan tersebut, sampah diubah menjadi gas metana lewat proses purifikasi (pemurnian) sehingga menghasilkan bioetanol yang nantinya dialirkan ke kompor warga untuk memasak dan ke genset untuk pembangkit listrik.
Untuk memasak menggunakan bioetanol harus menggunakan kompor khusus yang di berinama “bahenol” yang artinya bahan bakar hemat etanol. Jadi konversi minyak tanah ke gas elpiji tidak berlaku di sekitar daerah ini.
“Bioetanol sangat aman, murah, dan tidak gampang meledak. Jadi masyarakat tidak perlu takut untuk menggunakannya,” jelasnya.
Inovasi lain dari bioetanol terbuat ciu yang merupakan minuman beralkhohol dan dijadikan bahan bakar untuk sepeda motor. Ciu sendiri berasal dari hasil penyulingan tetes tebu yang diproduksi menjadi alkohol untuk kepentingan medis, misalnya untuk mencuci alat kesehatan agar kembali steril setelah digunakan.
Larsi mengungkapkan, ciu merupakan bioetanol yang memiliki kadar alhohol mencapai 60-80 persen. Padahal, cairan bioetanol dengan kadar 20 persen saja sudah mampu menghidupkan mesin mobil dan sepeda motor.
Yang lebih menarik lagi, Rumah Budi di Desa Doplang Karangpandan sudah mandiri listrik yang terbuat dari panel surya dan sedang merintis Desa Mandiri Listrik yang berasal dari sampah organik dan kotoran sapi yang diolah menjadi bioetanol.
Menggunakan pembangkit listrik dengan mendirikan kandang sapi di tanah kas desa, dan meminta warga sekitar yang berternak sapi untuk mengandangkan sapinya di sana.
“Karena listrik yang dibutuhkan banyak, kita membutuhkan waktu. Paling tidak menunggu kotoran-kotoran sapi terkumpul dulu, baru diolah. Rencananya listrik dari biogas akan dialirkan ke setiap rumah,” terangnya.
Jika seekor sapi bisa menghasilkan 20 kg kotoran setiap hari, maka dibutuhkan enam ekor sapi untuk menghasilkan energi listrik berkekuatan A 2.500 watt. Bukan hanya listrik, tapi juga akan dihasilkan gas metana sebanyak 650 gram perjamnya, setara dengan tiga kilogram gas elpiji.
Hasil dari biogas tersebut, api yang dihasilkan bukan berwarna biru, tapi tapi berwarna putih. Bila benar-benar bisa diproduksi massal di Indonesia, tidak akan terjadi krisis listrik dan elpiji.
Namun dukungan dari pemerintah sampai saat ini belum diperoleh. Untuk biaya produksi bioetanol dilakukan secara mandiri. Dengan cara membuka kelas khusus pelatihan bioetanol dan penelitian energi alternatif di pusat penelitiannya di Agro Makmur. Peserta kursus berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dan juga dari Malaysia dan Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar