Kamis, 17 Januari 2013

Home » » SETELAH KAU MENIKAHIKU (BAGIAN IV)

SETELAH KAU MENIKAHIKU (BAGIAN IV)

Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003

SETELAH KAU MENIKAHIKU (BAGIAN IV)

 
Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi sayang semuanya
sudahterlambat. Di a sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.
 
Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku
melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa
seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu
memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah
kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?
 
Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok
di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian
dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan
kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara
gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.
 
Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di
sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu,
aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat
tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua
puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja
itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam.
Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau
mustahil kembali lagi.
 
Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan
kini dan saat itu.
 
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam
tanganku dan mengucapkan namaku. "Ita," kelembutan suaranya masih
seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut,
masih persis seperti yang kukenang. "Kau datang."
 
"Halo, Pram," sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan
mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama
tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk
ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan
tentang siapapun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan
seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas
kekasihnya.
 
"Terima kasih mawarnya," ujarku, sedatar yang mampu kulakukan.
Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.
 
"Kau masih ingat."
 
"Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun," katanya tersenyum.
"Kapan kau pulang?"
 
"Tadi pagi."
 
"Dengan anak istrimu?"
 
Pram tertawa kecil. "Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita."
 
Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus
mengatakan apa.
 
"Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain
denganmu," senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang
pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. "Sepuluh tahun aku
mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu."
 
Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini
juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang
karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan
untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya
menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia
adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal
perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang
semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada
lagi kartu yang datang.
 
Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun
suatu ketika akan melupakanku.
 
"Kau sendiri bagaimana, Ta?"
 
"Aku sekarang editor senior," jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa
makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi... cinta? Kesetiaan?
 
"Selamat!" ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti.
"Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu."
 
"Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua," ujarku lirih. Apa
jadinya kalau dulu kukatakan "ya "? Sepuluh tahun bersama Pram,
seperti apa? Ia menggeleng.
"Aku hanya memintamu memilih."
 
Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia
bertanya ? Kau sudah menikah?"
 
Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . "Siapa?" tanyanya
lirih.
 
"Idan," jawabku kaku.
"Idan? Irdansyah temanmu?"
 
"Sahabatku."
 
"Sahabat mu," desahnya. "Sudah berapa putramu?"
 
Aku menggeleng. "Belum ada," bisikku.
 
Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi
setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia
mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.
 
"Aku...," dibukanya kotak itu. "...Aku sendiri menganggap diriku gila,
karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti
ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh
tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi...."
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia.
 
Aku terkesima.
 
"Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko
barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya," tanpa meminta
izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.
 
"Terima k asih," gumamku terpesona. "Cantik sekali."
 
"Kau suka?"
Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. "
Kau....Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot...," suaraku keluar
dengan susah payah.
 
"Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan
membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku
padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak
mengingatmu," ia tertawa kecil. "Tapi aku tidak bisa membawanya ke
sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk
semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer."
 
Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi
pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku
bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam
hati. Tidak. Tidak.
Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di
Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan
wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah
menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati
dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya
menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri dihatiku.
Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri. Ia bercerita tentang
barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. "Kalau
saja kau bersamaku, Ta," katanya dengan mata berbinar. "Kita bisa
menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik...."
 
Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara.
"Maaf," katanya sejenak kemudian.
 
"Aku harus kembali ke kantor," gumamku kaku.
 
"Baiklah. Mau kuantar?"
"Aku ada mobil."
 
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. "Ita, aku tahu semuanya
berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita
bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang
bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop."
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta
dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi,
kalau saja aku bisa mengucapkan ya.
 
Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. "Kita bisa
jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku," katanya. "Aku tidak punya
banyak teman di sini."
 
"Aku pikir-pikir dulu," jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai
kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.
 
Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dibelakangnya
ia menuliskan sederet nomor. "Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku
menunggu."
 
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti
gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan
seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa
membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua
harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah
kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah
meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir.
Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan
yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah
segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua
padanya?
 
Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya
mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga
tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat
atau lambat.
 
Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih
karena mungkin tidak akan pernah ada lagi?Tapi bagaimana?
 
Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.
 
Aku memikirkanmu.
 
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan
suaranya dari benakku?
 
Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
 
Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi
bisakah kau menghentikan badai? Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa
membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya.
Dan itu mustahil.
 
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar
kepala itu. "Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di
galeribaru dekat kantorku."
 
"Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita."
 
Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan
benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa
memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,
membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama
Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba
bertanya.
 
"Kenapa kau menikah dengan Idan?"
 
"Kenapa kau bertanya?"
 
"Seingatku, ia bukan tipemu." Aku tertunduk.
 
"Kenapa, Ita?"
 
"Idan mencintaiku ," bisikku pelan.
 
"Apa kau mencintainya."
 
Kebisuanku mem berinya jawaban.
 
"Apa kau bahagia?" lanjutnya lirih.
 
Kutatap matanya yang teduh dan hangat. "Ya."
 
"Jangan berbohong."
 
"Idan suami yang baik."
 
"Tapi apa kau bahagia?"
 
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu,
melewatkan waktu bersamanya?
 
"Berapa lama kau menikah dengan Idan?"
 
"Setahun."
 
"Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya
karena terpaksa? Karena usia dan...."
 
"Stop." Aku bangkit dan meninggalkannya.
 
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah
kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika
tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
 
Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air
mataku.
 
"Ita," tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan.
"Ada apa?"
 
"Tidak apa-apa," bisikku, mencoba mengendalikan diri. "Tolong keluar
sebentar. Aku harus menelepon Idan."
 
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan.
Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah
mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati
dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya,
seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
 
"Idan."
 
"Upit? Ada apa pagi-pagi begini?"
 
"Aku .... Kau tahu ..., " aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan
kepada suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang
dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku
tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya
mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh
kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan
sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga
mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.
"Ya?" desak Idan.
 
"Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?"
 
"Sekretarismu? Tentu."
 
"Bekas pacarnya yang pilot itu kembali."
 
"Lalu?"
 
"Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi
sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas
pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri."
 
"Tapi Indri sudah punya anak dua kan?"
 
"Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh
memilih untuk tinggal dengan siapa."
 
"Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?"
 
Aku menghela napas. "Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku
tak bisa menjawab."
 
"Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,"
meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak
kepada seseorang di ujung sana, "Tunggu sebentar, ini istriku! Ya,
mulailah dulu. aku menyusul." Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan
jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
 
"Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku ..," suara Idan
kembali di telepon.
 
"Karena kau yang membuatkan kopi?"
 
"Kau!" ia tertawa, lalu segera kembali serius. "...Kupikir Indri dan
pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan
keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga
harus diperhitungkan."
 
"...Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa
perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?"
 
"Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas
pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu?
Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin
mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang
mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri
dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa,
bukan lagi remaja yang masih hijau."
 
"Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak
pernah mencintai suaminya."
 
"Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?"
 
"Keadaan."
 
"Maksudnya?"
"Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak
mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi."
 
"Astaga. Kasihan sekali."
 
"Jadi bagaimana?"
 
Idan diam sejenak. "Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau
jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri
untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia
karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan
suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang
hanya mengenalnya dipermukaan, tidak utuh, seperti suaminya." "Lantas
aku mesti bilang apa?"
 
"Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari
pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi."
 
"Kau sama sekali tidak membantu," desahku. "Ini bukan keran bocor atau
teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit.
Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi
mengurusi rumah tangga orang."
 
"Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu."
 
"Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan
terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna."
 
Aku tertawa pahit. "Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima
kasih untuk saran dan waktumu."
 
"Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!"
ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sed ikit jauh dari telepon.
"Iya, Pak, sebentar. Istri saya ...."
 
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar