Subuh setelah sholat saya meluncur ke Stasiun Bandung. Hari masih gelap dan dingin menusuk kulit. Dengan sepeda motor ku pacu kecepatan tinggi berharap tidak ketinggalan kereta api. Maklum, semalan saya tidak mencari jadwal keberangkatan kereta. Berharap improvisasi saja, dalam benak berpikir “Kalau milik pasti dapat kereta api”. Tujuannya tidak jauh, hanya menuju Padalarang. Tetapi dari Padalarang itu yang penting, Cianjur. Yah.. kereta api tujuan Cianjur adalah target pagi itu. Ingin mengulang kembali memori dulu saat menggunakan kereta api jurusan Bandung Cianjur.
Bersama seorang teman yang terlambat datang, kami merencanakan perjalanan ke Gunung Padang. Gunung Padang menjadi sangat terkenal karena terdapat Situs Megalitikum yang pernah menjadi bahasan menarik di beberapa media masa local maupun nasional.
Pagi itu cuaca sedikit mendung, kereta api tujuan Padalarang sudah lewat. Terpaksa saya menunggu sambil berpikir rencana kemudian setelah terlambat menggunakan kereta api tujuan Padalarang. Teman saya yang datang terlambat tiba pukul 07.00 berarti jika menunggu kereta api selanjutnya masih ada satu jam lagi sementara kereta api tujuan Cianjur berangkat pukul 8.30. Jika kereta tujuan Padalarang datang lagi pukul 8.45 berarti kami terlambat dan pupus sudah rencana ke Gunung Padang hari itu.
Beruntung, ada sepeda motor yang saya parkir di stasiun. Dengan motor itu berangkatlah kami menuju Stasiun Padalarang. Sampai di Stasiun Padalarang pukul 8.00, kereta api tujuan Cianjur masih terparkir dengan nyaman. Dua gerbong yang akan membawa kami sudah banyak diisi penumpang yang hendak menuju Cianjur. Stasiun tampak lengang pagi itu, waktu luang sebelum berangkat kami gunakan untuk mencari sarapan. Surabi dan bandros adalah pilihan yang tepat. Sambil merasakan suasana pagi sebuah pasar dan stasiun, kami sarapan.
Kereta api tujuan Cianjur berangkat tepat pukul 8.30, di dalamnya sudah ada banyak penumpang dan tentu saja pengamen. Pengamen di kereta ekonomi adalah hal yang lumrah, untuk itu selalu sediakan uang recehan untuk kami bagikan pada mereka. Kereta berjalan perlahan dari stasiun ke stasiun lainnya. Berkelok-kelok melewati bukit di Padalarang kemudian lurus ketika sampai di daerah Rajamandala. Melewati Ciranjang kemudian sampailah di Cianjur pada pukul 10.30. Di setiap stasiun pemberhentian ramai penumpang naik turun. Dengan ongkos Rp 1.500 tentu sangat murah jika dibanding naik kendaraan umum Cianjur-Ciranjang. Ongkos Rp 1.500 kemudian akan berubah menjadi Rp10.000 mulai April 2012. Ini menjadi keluhan sendiri, seperti keluhannya seorang penumpang yang duduk di depan kami. “Ongkos Rp 10.000 nanti mah jadi berat atuh, padahal saya tehsudah sering naik kereta ini tiap hari”. Dengan logat sunda yang khas.
Cianjur dan Kenangan
Sesampainya di Cianjur, cuaca sangat cerah. Dingin udara Cianjur mengingatkan memori pada 14 tahun lalu saat bersekolah di SMUN 2 Cianjur. Saya mengingat saat naik kereta menuju Bandung, mengingat angkot-angkot yang bersuliweran dengan warna merah dominan dan pelat berwarna-warni di bawahnya. Saya ingat 02B jurusan Kubangsari. Dan juga mengingat sebuah patung ayam pelung yang selalu dilewati setelah pulang sekolah.
Dari Cianjur, perjalanan selanjutnya menuju Gekbrong. Naik angkot warna putih dengan ongkos Rp 4.000. Sepanjang perjalanan saya melihat setiap sudut kota yang terlewati. Banyak sisi-sisi yang menarik di Kota Cianjur, sayangnya perjalanan kali ini tujuannya adalah Gunung Padang. Kurang lebih 1 jam dalam angkot, sampailah di Gekbrong. Berdasarkan petunjuk teman, dari Gekbrong kami harus naik jurusan Sukaraja yang berwarna biru dan turun di Sukalarang. Sukalarang terkenal karena ada patung harimau. Ternyata tidak sampai 30 menit, Sukalarang sudah di depan. Tepat di patung harimau, kami berhenti.
Perjalanan di lanjutkan dengan naik angkot menuju Tegal Panjang. Salah satu teman saya sudah menunggu di Tegal Panjang untuk membawa kami ke Gunung Padang dari jalur berbeda. Perut yang lapar membuat kami berhenti untuk mengisi dulu perut sambil bertanya angkutan yang akan menuju ke Tegal Panjang. Seperti biasa, jika bertanya dengan akrab jawaban umum selalu “Ah.. sudah dekat Gunung Padang mah”. Jawaban itu membuat kami lega.
Sampai di Tegal Panjang pukul 12.00, saat itu hujan mulai turun dengan derasnya. Hujan sempat membuat kami sedikit pesimis bisa melanjutkan perjalanan ke Gunung Padang. Bersyukur, hujan ternyata datang sebentar saja, matahari muncul menyinari Tegal Panjang yang baru saja di guyur hujan. Cerah memberikan harapan pada kami untuk kembali melanjutkan perjalanan. Cerah berarti perjalanan dilanjutkan.
Dengan ditemani dua orang dari Tegal Panjang, kami melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motor. Salah seorang pengantar kami adalah petugas Kecamatan Cireungas. Kecamatan Cireungas terletak di antara dua bukit dengan hamparan sawah dan sungai yang bersih. Di Cireungas juga terdapat lintasan kereta api jurusan Sukabumi-Bandung. Sayangnya setelah terowongan Lampegan mengalami keruntuhan saat gempa, jalur tersebut nyaris belum dilewati lagi oleh kereta api.
Di Cireungas, selain mengunjungi kantor kecamatan, kami juga mengunjungi rumah kepala stasiun. Rumah tersebut adalah peninggalan Belanda yang selesai dibangun tahun 1942. Bangunan tersebut menunjukkan kekhasan arsitektur Belanda, dengan plafond yang tinggi dan jendela yang tinggi pula. Kokohnya bangunan terlihat dari kayu-kayu yang masih utuh walaupun sudah berumur 70 tahun. Dari rumah kepala stasiun itu, kami di ajak melihat Stasiun Cireungas. Dulu ketika kereta api masih beroperasi antara Bandung-Sukabumi, banyak penduduk Cireungas yang menggunakannya untuk bepergian ke Sukabumi, baik itu belanja atau sekolah. Bahkan yang menariknya, kereta api yang membawa penduduk tersebut, bisa berhenti selain di stasiun. Membayangkan kereta bisa berhenti di mana saja, sangat mengagumkan seperti kembali ke masa lalu.
Setelah bercengkrama di rumah Belanda, perjalanan selanjutnya adalah Gunung Padang. Ini yang ditunggu-tunggu. Setelah melewati jalan aspal, jalanan berbatu menghadang kami di depan. Melewati Gunung Rosa yang katanya mengandung emas, kemudian berbelok ke arah Campaka. Campaka adalah perkebunan teh di bawah PTPN. Memasuki perkebunan teh yang hijau, jalanan yang bergelombang, dan udara yang sejuk. Ini perjalanan paling mengasyikkan. Melihat penduduk yang sedang beraktivitas sore-sore dan anak-anak muda yang bermain bola. Campaka adalah wilayah Cianjur sementara kami memasuki Campaka dari arah Sukabumi.
Passepartout dan Phileas Fogg (Arround The World in 80 Days)
Gunung Padang
Penunjuk arah ke Situs Megalitikum Gunung Padang sudah tampak, dari kebun teh jaraknya hanya tinggal 2 Km. Itu berarti sebentar lagi kami sampai. Jalur ke Gunung Padang dari arah Cianjur sudah bisa dilewati dengan berbagai jenis kendaraan. Walaupun jalurnya sudah baik tetapi tetap saja disarankan menggunakan jenis kendaraan tinggi, untuk menghindari titik-titik jalan yang masih berlubang. Tempat parkir di kawasan Gunung Padang sudah tertata dengan baik. Penduduk mengatakan hal ini berkat dukungan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Gunung Padang saat kami daki sedang cerah, sore hari yang hangat dengan sedikit sinar matahari. Beberapa kepercayaan yang muncul di sana dan menarik kami coba adalah menghitung tangga, mengangkat salah satu batu di atas. Batu tersebut katanya sangat berat dan tidak semua orang bisa mengangkatnya. Saya tentu saja penasaran.
Kepenasaran pertama adalah hitungan tangga yang tidak akan sama antar satu sama lain. Ini benar, dan saya sudah membuktikannya. Secara logika sangat sulit misalnya dengan jalur yang tinggi, butuh konsenstrasi dan juga kekuatan fisik melawan lelah mendaki gunung. Hal ini berbeda dengan mengangkat batu di atas undakan ke 4. Saya berhasil, karena diberikan teknik-tekniknya oleh Pak Oban, salah seorang guide yang sedang menunggu di atas gunung.
Gunung Pada terdiri dari lima undakan, dengan batu-batu yang semua bersisi lima. Gunung Padang juga menghadap ke lima gunung yang ada. Lima menjadi misteri dan sangat menarik untuk di kaji. Di atas undakan pertama, kita akan melihat dua buah batu yang mengeluarkan bunyi gamelan jika di pukul. Di undakan ke tiga kita bisa melihat tapak harimau dan tapak kujang. Kujang adalah senjata khas masyarakat sunda. Tapak harimau di salah satu batu, di yakini sebagai tapak Prabu Siliwangi.
Selesai mengambil dokumentasi dan mendengar penjelasan dari Pak Oban, karena rintik-rintik hujan mulai turun, kami bergegas ke bawah. Hujan pun turun menyiram Gunung Padang dan sekitarnya. Sambil menunggu hujan berhenti, kami singgah di warung masyarakat setempat sambil menikmati kopi.
Gunung Padang kami tinggalkan setelah hujan reda, hari sudah menjelang malam. Perjalanan kami akhiri dengan naik angkot menuju Sukaraja. Dari Sukaraja selanjutnya kami gunakan bis jurusan Sukabumi-Bandung. Ini menjadi hari yang menyenangkan. Gunung Padang memberikan banyak pelajaran bagi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar