Mahal murahnya nilai investasi MRT tak bisa dilihat dari satu faktor
Maket rencana pembangunan MRT Jakarta(MRT Jakarta)
VIVAnews - Proyek pembangunan moda transportasi massal berbasis rel Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta memiliki skema pendanaan yang berbeda dari pembangunan MRT di Singapura. Jika selama ini mega proyek ini dikatakan sangat mahal dan tidak efisien, Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Transportasi, Soetanto Soehodo, justru menilai sebaliknya.
Menurut Soetanto, MRT Singapura dioperasikan dengan skema government project tanpa dana pinjaman atau hibah dari pihak mana pun. Pemerintah Singapura merencanakan pembangunan MRT mulai dari infrastruktur, pembelian rolling stock seperti gerbong dan kereta, sampai akhirnya menyerahkan operasional kepada operator.
"Jadi agak berbeda dengan kita, pembangunan menggunakan uang mereka sendiri, tidak pakai pinjaman," kata Soetanto usai melakukan pertemuan di ruang rapat Wakil Gubernur DKI Jakarta, di kantor Balaikota DKI Jakarta, Sabtu, 3 November 2012.
Soetanto menilai, skema yang dijalankan Singapura dengan sistem multi produk cukup mereportkan dari segi integrasikan sistem yang berbeda-beda. "Repot. tapi dia (MRT Singapura) bisa tuh melakukan sistem itu," ujarnya.
Khusus terkait nilai investasi MRT Jakarta senilai Rp1 triliun per kilometer (Km), Soetanto mengatakan angka itu justru jauh lebih murah dibandingkan Singapura. MRT di negeri tetangga itu diyakini menghabiskan dana 2-3 kali lipat dibandingkan Indonesia.
"Harganya bervariasi. Tapi harga yang current tahun-tahun ini bahkan kalau saya tidak salah, itu hampir Rp2-3 triliun per kilometer. Jauh lebih mahal disana," katanya
Bagi Soetanto, masalah murah mahalnya investasi MRT tak cukup dengan melihat angkanya semata. Setiap pembangunan MRT harus melihat kesulitan pembangunan serta penerapa teknologi. "Teknologi kita belum tentu sama dengan Singapura," terangnya.
Diakuinya, sistem teknologi yang digunakan MRT Singapura sudah sangat canggih. Maklum, negeri singa tersebut telah mengoperasikan moda transportasi massal itu sejak lebih dari 20 tahun lalu.
"Kalau sudah ada yang pernah ke Singapura mungkin pernah lihat keretanya nggak ada supirnya. Kereta yang seperti itu sistem signalingnya mesti sempurna dan akurat. Beda, kalau kita ada drivernya. Teknologinya beda. Itu yang menyebabkan harganya jauh lebih mahal," ujarnya. (adi)
© VIVA.co.id
Jendela Informasi Nusantara - Jendela Informasi Dunia - Berbagi Apa Saja dalam Indahnya Berbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar