Bagi pemerintah, ini solusi soal isu BBM. Mengapa industri tak tertarik?
Sekilas mobil dalam kota (city
car) itu mirip mobil biasa. Desainnya modern. Tapi bila dilihat
lebih dekat ada yang aneh: mobil itu tak berknalpot. Tak ada tangki bensin,
atau solar. Di bagian dashboard, ada panel canggih. Lengkap
indikator kecepatan, dan informasi baterai. Juga deteksi keadaan bahaya.
Ini bukan mobil biasa, tapi mobil dengan tenaga listrik.
Gambar prototipe mobil listrik itu ditunjukkan oleh Ravi Desai kepadaVIVAnews, pekan lalu. Lelaki kelahiran Gujarat , India ,
itu rupanya telah lama menekuni energi non-BBM, antara lain turbin, dan sel
surya. Kini melalui PT Benua Green Energy yang berkantor di Lippo Karawaci,
Tangerang, dia bergulat merampungkan model mobil listrik.
Sebetulnya mobil buatannya hampir rampung. Tapi karena masih dalam proses
ujicoba, prototipe tak bisa dibuka ke publik. “Maaf, belum bisa saya tunjukkan.
Masih kami kembangkan,” ujar Ravi .
Apalagi Ravi kini punya semacam “tugas nasional”.
Adalah Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN, yang gusar melihat debat soal
kenaikan harga BBM. Tiap kali harga BBM naik, maka politik nasional ikut ricuh.
Demo merebak. Bentrok di mana-mana. Dia menilai Indonesia harus punya strategi
energi alternatif bagi kendaraan bermotor. Maka Dahlan, bekas bos PLN itu, lalu
mencetuskan ide menarik: mobil listrik.
“Saat ini tren di seluruh dunia memang mengarah ke mobil listrik. Tentu
ini juga terkait dukungan saya
pada pengalihan penggunaan BBM,” ujar Dahlan kepada VIVAnews,
pekan lalu.
Menurut Dahlan, produksi mobil listrik akan efektif untuk menggeser
pemakaian BBM. Kini, pemerintah harus memberi subsidi Rp200 triliun untuk BBM.
Untuk mengembangkan mobil listrik, kata Dahlan, biayanya lebih murah. Taruhlah
sekitar Rp5 triliun.
Ide mobil listrik itu pun telah disampaikan Dahlan ke Presiden SBY.
Intinya, presiden mendukung. Dunia kampus dari empat universitas pun setuju.
Ribuan e-mail dan SMS pun menyerbu inboks Dahlan.
Dari sekian banyak itu, ada empat orang yang dianggap siap mewujudkan inovasi
mobil listrik.
Dahlan pun menyokong mereka.
Empat “putera petir”
Ravi Desai adalah salah satunya. Tiga orang lainnya adalah Dasep Ahmadi,
Danet Suryatama, dan Mario Rifaldi. Dahlan menyebut mereka empat “putera
petir”. Mereka sepakat membuat prototipe mobil listrik.
Keempat orang itu tak berkumpul bersama. Mereka terpisah jarak, dan oleh
Menteri Dahlan coba dihubungkan melalui grup email. Tiap orang mengerjakan
prototipe versinya sendiri, dengan keahlian masing-masing.
Ravi Desai misalnya. Sebelum menerima tantangan Menteri Dahlan, dia sudah
merakit mobil listrik. Tapi tak diproduksi massal, hanya untuk pemakaian
pribadi. Mobil itu memakai chasis alumunium. Jadi lebih ringan. Dengan
siraman dana US$100 ribu, produk mobil listrik ini siap dipasarkan.
Sementara soal mesin didalami oleh Dasep Ahmadi. Dia insinyur mesin
lulusan ITB. Di bengkelnya di Jatimulya, Depok, ada ruang desain penuh
mesin. "Kami kerjakan ini siang malam. Meski serius, kami rileks,"
ujar Dasep kepada VIVAnews, Kamis pekan lalu.
Dasep sedang mengerjakan “ibu mesin” alias mesin pembuat mesin. Dibantu
oleh tim kerja sekitar 10 orang, Dasep serius membuat proyek mobil listrik ini
sejak sejak 1,5 tahun lalu. "Kami rapat seminggu sekali, untuk berdiskusi,
adu konsep, dan sharing desain mobil itu," katanya.
Di tempat terpisah, ada Mario Rifaldi. Selepas kuliah di ITB, pria ini
menerima beasiswa ke Jerman. Mario telah menciptakan mobil dan motor listrik.
Keduanya telah diujicoba di Cimahi. “Saya sudah mencobanya,” ujar Dahlan.
Seorang lagi, Danet Suryatama. Alumnus ITS ini punya tim di dua
negara untuk menangani desain hingga manufaktur mobil listrik. Dia kerap mondar
mandir Jakarta-Amerika. Danet punya pengalaman kerja lebih dari 11 tahun
di perusahaan otomotif AS, Chrysler. Dana produksi mobil listrik didapatnya
secara swadaya. “Mobil pertama yang kami bangun akan diusahakan sebagai mobil
produksi. Bukan lagi prototipe,” tulis Danet via e-mail kepada VIVAnews.
Belum ada pos
Keempat orang itu, secara terpisah, mengembangkan mobil listrik city
car. Mobil jenis ini memang paling laku, karena warga butuh
kendaraan hemat. Dasep membandingkannya dengan mobil bensin. “Pemakaian
bensin 1 liter untuk jalan 9 km. Kalau listrik setara 1 KWT itu bisa jalan 8-9 km. Harga 1 Kwt sekitar 730 rupiah,
atau 1100 jika listrik tak disubsidi,” ujar Dasep.
Mobil listrik juga lebih efisien. Misalkan, jika terjebak macet alias
mobil diam tak bergerak, energi dikeluarkan sedikit. Kalau AC menyala, hanya
kompresor yang bekerja. Saat menanjak ke puncak atau turun, energi potensial
berubah jadi energi listrik. Dasep sengaja merancang agar setiap mengerem,
mobil mengisi tenaga (generatic break).
Saat melambat, energi akan tersimpan.
Kinerja mobil listrik pun mampu bersaing. Ketika mulai dinyalakan,
torsinya akan maksimum. Sementara mobil lain pada awal berjalan lebih rendah.
Agar lebih hemat energi, Dasep membatasi kapasitas mesin hanya 1.000 cc.
“Perputaran rendah tidak masalah. Kita rancang 50 kw, sekitar 67 HousePower (daya pacu kuda),” ujar Dasep.
Lalu, bagaimana jika tenaga listriknya habis?
Ini masalahnya. Pos pengisian tenaga listrik saat ini memang belum
tersedia. Instalasi pengisian membutuhkan dukungan PLN dengan pengisian sekitar
220 volt. Pos ini bisa membuka peluang stasiun pengisian daya.
Ujicoba di bengkel Dasep menunjukkan pengisian 4 jam mampu memberi tenaga
6 ribu watt. Dengan tenaga itu, mobil bisa seharian berjalan dari Jakarta ke
Bogor, atau sebaliknya, dengan jarak tempuh 120 km. Untuk wilayah
Jabodetabek, hanya butuh pengisian semalam saja.
“Biasanya Rp100 ribu untuk bensin. Ini paling habis Rp30 ribu,” ujar
mantan karyawan Astra Internasional itu.
Dengan energi lebih murah, Dasep percaya mobil listrik akan menjadi
solusi masa depan. Apalagi, negara-negara di Amerika, Eropa, juga Asia seperti Korea , China ,
dan Jepang mengarah ke sana .
“Kita harus jadi yang pertama di Asia Tenggara. Pemerintah harus berusaha
maksimal,” ujar Dasep.
Tak mudah
Ongkos untuk mobil listrik memang lebih hemat. Harga untuk membeli mesin,
misalnya sekitar Rp5 juta. Drive hanya
Rp3,5 juta. Aki ditambah perangkat lunak berkualitas teratas sebesar Rp50 juta.
Untuk soal ini, Ravi Desai berusaha menekan harga mobil hingga Rp90 juta.
Sasarannya kelas menengah ke bawah.
Mobil listrik juga lebih simpel. Pengerjaannya bisa dikerjakan oleh tim
kecil. Di kantornya, di Karawaci, Ravi mulai merancang kantornya sebagai tempat
pelatihan modifikasi mobil.
Mereka yang ingin mengubah mobil tuanya ke mobil listrik, bisa mengikuti
manual yang dia buat. Bahasa manual itu ditulis sederhana. Ravi ingin rakyat
kecil dapat memodifikasi sendiri, dan merawat mesin mobil listrik. Dia
menyiapkan pelatihan di kantornya. Ada 3-4 mobil dibongkar pasang di sana.
Untuk produksi industri, Ravi melakukannya di pabriknya di kawasan Cikupa,
Tangerang.
Menurut Ravi, di luar negeri, industri ramah lingkungan dapat insentif
khusus. Dasep juga berharap pemerintah bisa mendukung melalui regulasi dengan
keringanan kredit, investasi, dan modal kerja. “Kita sudah terlanjur terlambat
di teknologi. Mengapa tidak melompat saja?” ujar Ravi.
Tapi inilah soalnya. Upaya riset mobil listrik itu belum begitu menarik
minat industri. Wakil Ketua
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto,
misalnya, menyatakan pesimis. Soalnya, biaya produksi dan teknologi mobil
listrik masih sangat mahal bagi skala ekonomi masyarakat Indonesia.
Itu belum termasuk tak adanya infrastruktur pendukung, semisal pos
pengisian listrik. Jongkie menilai impian mobil listrik masih jauh dari
kenyataan. "Biaya produksi baterai saja masih sangat mahal di beberapa
negara, apalagi di Indonesia," ujarnya.
Meski begitu, pemerintah justru terlihat serius. Dirjen Industri Unggulan
Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian, Budi Darmadi, mengatakan
terus melakukan riset terhadap mobil listrik. Antara lain, soal infrastruktur
pendukung. Budi mengatakan memang ada banyak pembenahan harus dilakukan.
Termasuk soal pemerataan listrik.
Itu membuat para pionir mobil listrik, seperti Dasep misalnya, yakin
apabila pemerintah membantu, produksi mobil listrik nasional pada 2014 dapat
mencapai 120 ribu unit setahun. “Yang penting bukan hanya mobilnya. Tapi spirit-nya,
bahwa kita mampu membangun sendiri,” ujar Dasep.
sumber : vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar