Situasi
perekonomian yang sulit kembali dihadapi negeri ini. Nilai tukar rupiah
kini sudah menembus Rp. 11.000 per dollar AS. Tingkat inflasi bakal
berada di atas 9 persen. Bank Indonesia, pekan lalu, memerlukan rapat
darurat untuk memutuskan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7
persen. Pilihan BI ini jelas berat karena akan mengorbankan tingkat
pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi yang rendah punya konsekuensi begitu luas. Di tengah upaya
mengurangi tingkat penggangguran yang masih lebih dari 7,17 juta orang,
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi mutlak perlu untuk menciptakan
lapangan kerja. Tugas semakin berat karena lebih dari 2,1 juta
orangmemasuki lapangan kerja setiap tahun. Mempertahankan mereka yang
sedang bekerja saja menjadi beban lainnya.
….
Runyamnya
impor Indonesia masih tetap tinggi. Paling akhir terlihat dari defisit
neraca perdagangan pada Juli 2013 yang mencapai 2,3 miliar dollar AS.
Impor masih tetap besar. Dampak inflasinya juga akan tetap besar. Paket
kebijakan ekonomi yang baru dikeluarkan untuk menekan impor juga belum
efektif. Paket yang sangat terlambat karena angka defisit itu sudah
berlangsung sejak 2012.
….
(Kompas, Jumat, 6 September 2013).
Demikianlah gambaran singkat situasi perekonomian Indonesia saat ini dan entah sampai kapan yang dimuat di Harian Kompas hari ini.
Indonesia
memang dari dulu terkenal sebagai salah satu negara pengimpor terbesar
di dunia. Ironisnya, semakin lama justru semakin besar tingkat impornya.
Apa-apa semua diimpor. Mulai dari kebutuhan pokok sampai dengan
barang-barang konsumerisme. Barang-barang konsumerisme yang diimpor pun
mulai dari kelas super mewah sampai dengan kelas (aksesoris) ecek-ecek.
Masalah
kenaikan harga berbagai bahan pangan selalu diatasi dengan cara-cara
instan: impor. Harga beras naik, impor. Harga daging sapi naik, impor.
Harga bawang merah dan putih naik, impor. Harga gula naik, impor. Harga
cabe naik, impor. Harga kedelai naik, impor, dan seterusnya.
Tak heran devisa Indonesia pun terus terkuras drastis, karena masih sangat tergantung dengan impor.
Sekarang,
ketika rupiah semakin melemah seperti ini, bukankah menjadi bumerang
bagi importir juga? Mengimpor barang dengan nilai dollar AS, jual dengan
harga rupiah yang tinggi. Barang pun menjadi sulit dijangkau harganya.
Tak ada pembelinya. Ekonomi pun lesuh.
Semuanya
itu menjadikan lingkaran setan bagi perekenomian Indonesia. Karena
diduga kuat banyak “setan-setan ekonomi”, para spkekulan, kartel, mafia,
dan lain-lain pun ikut bermain di dalamnya.
Di
tengah-tengah krisis devisa seperti ini, terpetik berita bahwa ternyata
selama ini perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia yang
beroperasi Timika, Papua, PT Freeport Indonesia, mengaku tidak menyimpan
uang hasil ekspor produk mineral mereka itu di Indonesia. Alasannya
karena belum ada peraturan yang mewajibkan mereka melakukan hal itu.
Direktur
Utama PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto menyatakan, penyimpanan
hasil ekspor, atau devisa hasil ekspor (DHE) PT Freeport Indonesia itu
sudah sejak awal tidak pernah disimpan di Indonesia. Semua hasil ekspor
tembaga dan emas dari Papua, Indonesia itu, disimpan di bank di luar
negeri. “Sejak dulu, kan begitu (simpan hasil ekspor di luar negeri).
Itu ‘kan sudah puluhan tahun,” ujar Rozik, Kamis, 05/09/13 (Jawa Pos).
Dia
mengatakan sampai sekarang pun Freeport masih menyimpan uang hasil
ekspornya di luar negeri. Sebab tidak ada aturan yang mewajibkan harus
disimpan di bank di Indonesia. Karena itu, Freeport menilai tidak perlu
melakukan hal itu. “Kalau tidak ada aturannya, bagaimana ? Selama tidak
ada (kewajiban) kita akan pakai (kebiasaan) yang lama,” ungkapnya.
Rozik
yang juga adalah mantan pejabat Kementerian Pertambangan dan Energi
(kini ESDM) serta menteri pekerjaan umum pada era Presiden Abdurrachman
Wahid itu beralasan aturan wajib menyimpan DHE di bank devisa dalam
negeri tidak ada di dalam kontrak karya yang ditandatangani Freeport
dengan pemerintah Indonesia sejak 1967. Berbekal kontrak karya itulah
Freeport merasa tidak perlu mengikuti aturan DHE yang diterbitkan Bank
Indonesia.
Aturan tentang DHE yang diterbitkan Bank Indonesia itu adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/20/2011 (3 Oktober 2011) tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri,
yang antara lain mewajibkan seluruh perusahaan pertambangan yang
beroperasi di Indonesia wajib menyimpan uang hasil ekspornya (DHE) di
bank-bank devisa di dalam negeri. Jika tidak dilakukan, akan dikenakan
sanksi, antara lain berupa larangan ekspor.
Meskipun
telah ada PBI itu, perusahaan-perusahaan pertambangan migas dan mineral
asing yang beroperasi di Indonesia menolak untuk memenuhinya. Mereka
selalu berlindung di balik kontrak karya, yang dikatakan tidak mengatur
soal itu.
Padahal, seperti yang pernah dikatakan Deputi Pengendalian Keuangan SKK Migas Akhmad Syakhroza (detik.com, 11/02/13),
dalam PBI itu dan berdasarkan Surat Gubernur Bank Indonesia Bank
Indonesia Nomor 14/3/GBI/SDM, tanggal 30 Oktober 2012 ditegaskan bahwa
perusahaan-perusahaan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) tidak
dikecualikan dalam kewajiban menyimpan DHE-nya di bank devisa di
Indonesia.
Meskipun
demikian, perusahaan-perusahaan pertambangan asing itu tetap saja tidak
mau memenuhi ketentuan itu. Bukan hanya PT Freeport Indonesia, tetapi
juga perusahaan-perusahaan pertambangan asing lainnya, seperti
perusahaan-perusahaan migas dari Amerika Serikat, Chevron, ExxonMobil,
dan ConocoPhilips.
Merespon
penolakan dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh perusahaan-perusahaan
pertambangan itu, pada Desember 2012, Bank Indonesia kembali
menerbitkan PBI Nomor 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil
Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri untuk mempertegas
peraturan Bank Indonesia sebelumnya. Di situ dicantumkan batas waktu
yang harus dipenuhi semua perusahaan tambang di Indonesia dalam
menyimpan uang hasil penjualan (ekspor)nya paling lambat tanggal 30 Juni
2013.
Subtansi
maksud dari dikeluarkan aturan itu oleh BI adalah untuk memperkuat
pasokan valuta asing di sistem keuangan Indonesia, sehingga stabilitas
nilai tukar bisa dijaga. Sebagai contoh saja, pada semester pertama
2013, PT Freeport membukukan pendapatan sebesar 6,03 miliar (lebih dari
Rp. 60 triliun) dari penjualan (ekspor) tembaga dan emas dari tambang
Grasberg di Papua. Semua hasil penjualan itu disimpan di bank di luar
negeri.
Meskipun
pada awalnya tetap menolak melaksanakan PBI tentang wajib simpan DHE di
Indonesia itu, untuk perusahaan-perusahaan migas asing, seperti
Chevron, ExxonMobil, dan ConocoPhilips, melalui koordinasi antara BI
dengan SKK Migas, akhirnya mereka bersedia menyimpan DHE-nya di
Indonesia.
Yang
kebanyakan masih membandel adalah perusahaan-perusahaan tambang mineral
asing. Salah satunya yang terbesar adalah PT Freeport Indonesia ini.
Lalu,
kenapa BI tidak menggandeng Kementerian ESDM untuk mendesak perusahaan
tambang mineral, seperti Freeport itu melaksanakan Peraturan Bank
Indonesia itu?
Direktur
Eksekutif Direktorat Komunikasi Bank Indonesia, Difi Johansyah
mengatakan, “Posisi BI adalah otoritas moneter. Karena itu, kementerian
teknis yang harus proaktif.”
Menurut
Difi, dalam kondisi likuiditas valas yang terbatas, semua pihak mestinya
bisa bekerja sama untuk menarik DHE yang selama ini disimpan di luar
negeri untuk memperkuat pasokan valas di Indonesia. “Kalau tidak, rupiah
akan terus tertekan,” ujarnya (Jawa Pos, Jumat, 06/09/2013).
Pengamat
Ekonomi dan Perbankan Tony Prasentiantono pernah menyarankan kepada
pemerintah Indonesia agar mau meniru Tiongkok dalam mengelola devisanya.
Di Tiongkok, ada kewajiban bagi setiap ekspoter, termasuk
perusahaan-perusahaan asing, untuk menyimpan hasil penjualan ekspornya
di bank-bank devisa di Tiongkok. Tidak boleh sembarangan mengirimnya ke
luar Tiongkok.
Toni
mengatakan, dengan sistemnya itu, Tiongkok berhasil menarik devisa hasil
ekspornya masuk ke sistem perekonomian domestik mereka. Tiongkok bisa
berkembang karena kemampuan mereka memberi daya tarik bagi investornya.
Cadangan devisa Tiongkok saat ini mencapai lebih dari 3 triliun dollar
AS, terbesar nomor satu di dunia.
Yang
mengherankan adalah kenapa seolah-olah baru sekarang pemerintah, dalam
hal ini Bank Indonesia menyadari betapa pentingnya sistem yang membuat
eksporter dan investor asing untuk tidak menyimpan DHE-nya di luar
negeri, sehingga baru membuat regulasinya sekarang? Itu pun masih
tersendat-sendat jalannya. Pemerintah seolah-olah takut dengan
perusahaan-perusahaan asing itu. Padahal ini di rumah sendiri, yang
dieksplorasi juga hasil tambang dari perut bumi Indonesia.
Perusahaan-perusahaan tambang asing itu juga pasti takut kalau tidak
diizinkan lagi mengeksplorasi di Indonesia. Seharusnya posisi tawar
Indonesia lebih kuat, tetapi oleh pemerintah RI dibuat menjadi
sebaliknya.
Orang
seperti Rozik B. Sutjipto, Direktur Utama PT Freeport Indonesia pastilah
tahu bahwa Indonesia sangat memerlukan devisa, dan selama ini tindakan
Freeport yang selalu menyimpan DHE-nya di luar negeri, dengan
mengabaikan PBI, tentu sangat merugikan Indonesia. Tetapi, kenapa yang
dia bela adalah Freeport, yang nota bene milik orang asing? Apakah
karena dia bekerja di sana, takut jabata tingginya itu hilang? Maka
mendingan membela Freeport daripada negaranya sendiri? ***
Sumber bahan diolah dari:
- Harian Jawa Pos, Jumat, 06/09/2013
- Harian Kompas, Jumat, 06/09/2013
- Detik.com, 11/02/2013
- Tempo.co, 27/09/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar