ag03s.blogspot.com - Sembuh tak kunjung datang, sementara rasa sakit terus menjalar. Ada semangat ingin bangkit, tapi tak mengerti obat apa yang harus diminum. Puluhan juta dolar sudah dihabiskan untuk berganti tabib.
Alih-alih bisa menemukan ramuan hebat, namun yang menimpa justru sebaliknya: Peluang hidup semakin tipis. Akhirnya eutanasia dianggap sebagai satu-satu jalan terbaik. Entah benar atau tidak. Tapi setidaknya, itulah cara yang dinilai akan mengurangi siksaan sakit tanpa menyakitkan. Sekalipun harus menghabisi nyawa.
Empat bulan lagi General Motors (GM) akan melakukan eutanasia terhadap satu-satunya pabrik perakitan Chevrolet di Indonesia yang ada di Pondok Ungu, Bekasi. Rencana ini telah diumumkan secara resmi oleh GM Indonesia pada Kamis (26/2) kemarin.
Padahal usia pabrik itu baru genap dua tahun ketika GM Indonesia menghentikan aktivitas produksinya 30 Juni mendatang. Sebelumnya, selama hampir delapan tahun, pabrik ini terbengkalai. Dia tertidur setelah Opel/Chavrolet Blazer yang diproduksi sejak 1995 tak mampu bertahan dari serangan zaman. Blazer pun harus keluar dari kompetisi pada 2005.
Kondisi yang menimpa GM Indonesia ini tentu saja membuat publik, khususnya konsumen Chevrolet serta pemilik dan karyawan dealer Chevrolet di seluruh Indonesia, panik.
Terlebih pabrik yang dibangkitkan dari tidur dengan investasi US$ 150 juta itu digunakan sebagai dapur produksi Chevrolet Spin, produk yang dipilih oleh konsumen yang ingin keluar dari model buatan merek mainstream.
Bagi saya keputusan GM Indonesia menghentikan operasional pabrik di Pondok Ungu bukanlah berita mengejutkan. Sejak pertengahan tahun lalu saya sudah mendengar kabar tentang arah keputusan ini. Malah pada Agustus tahun lalu, usai hari raya Idul Fitri, operasional pabrik GM Indonesia sudah benar-benar dihentikan.
Apalagi saya juga mendapat informasi bahwa sepanjang 2013 GM Indonesia sudah mengalami kerugian sekitar US$ 60 juta dari aktivitas operasionalnya. Malah sepanjang 2014 proses pengurangan karyawan pabrik selalu terjadi hampir saban bulan.
Seorang teman saya, dia pelaku bisnis otomotif, beranggapan bahwa kerugian besar yang dialami GM Indonesia sulit diterima akal pengusaha. Tapi dirinya memaklumi manakala mengetahui GM Indonesia telah terjerumus dalam inefisiensi usaha.
Sebuah kabar yang saya terima, kerugian GM Indonesia merupakan bagian dari penetapan biaya tinggi pada standar pendapatan dan fasilitas bagi para pimpinan perusahaannya yang dijabat orang-orang asing.
Konon biaya sewa rumah untuk managing director yang kala itu dipegang Marcos A. Purty saja bisa mencapai US$ 4.500 per bulan. Ini belum termasuk beban untuk membayar serentetan biaya tunjanggan dan fasilitas lain. Padahal di saat itu, Spin yang menjadi tulang punggung penjualan GM Indonesia sedang berjalan di tempat. Di sisi lain, keterpurukan GM Indonesia terkesan akibat salah mengasuh produk potensial Spin.
Kisah GM Indonesia ini terasa seperti orang sakit demam berdarah kronis yang berharap kesembuhan. Apapun akan dilakukan demi kesehatan. Dia tak lagi menimbang akal sehat. Tabib dari negeri yang tak mengenal demam berdarah pun berani didatangkan sekalipun harus dibayar mahal. Padahal, bagi tabib lokal penyakit negeri tropis itu merupakan perkara biasa.
Ceroboh Sejak Awal
Seorang teman saya yang lama menjalani bidang marketing mengingatkan tentang sebuah pepetah berbunyi, “Don’t change the winning team.” Pepatan ini, setidaknya dalam pandangan saya, sesuai untuk menggambarkan fase bangkit dan terpuruknya GM Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Saya pun jadi mengingat kembali tentang sebuah cerita petang di pertengahan 2011. Ketika itu Martin Apfel, presiden operasional GM Asia Tenggara, ingin mengumumkan penunjukkan Marcos A. Purty sebagai pengganti managing director asal Indonesia Mukiat Sutikno. Di kesempatan yang sama Apfel juga menyampaikan rencana GM membangun ulang fasilitas produksi di Pondok Ungu sebagai basis produksi Spin di Asia Tenggara.
Kala itu, usai sesi pertanyaan terakhir saya mengangkat tangan. Dalam forum terbuka saya bertanya kepada Apfel yang duduk di atas panggung besar.
“GM ingin berinvestasi kembali di Indonesia untuk membangun sebuah produk (Spin) untuk menyaingi model (Avanza dan Xenia) yang saat ini dikuasai pemimpin pasar (Toyota dan Daihatsu). Tapi saya tidak melihat satupun orang GM Indonesia yang hadir di sini yang kami kenal memiliki pengalaman otomotif di pemasaran lokal. Orang-orang pemasaran yang kami kenal di GM Indonesia telah pergi. Bagaimana Anda bisa melawan raksasa dengan yang tersisa?” begitu kira-kira bunyi pertanyaan saya kepada Apfel saat itu.
Dengan ringan Apfel menjawab. Katanya, keluar masuk karyawan dalam sebuah perusahaan merupakan hal biasa. Dia pun berkeyakinan mampu menemukan tim marketing baru yang tepat untuk perusahaannya.
Keputusan GM menempatkan Purty sebagai pengganti posisi Mukiat saat itu dinilai beberapa pihak internal GM Indonesia sebagai langkah terlalu berani. Pasalnya, Purty yang terbilang muda tidak berlatar belakang marketing. Sebelum dipindahkan ke Indonesia sebagai direktur manufakturing Purty adalah manajer produksi area Holden Australia yang belum lama ditutup.
Nyatanya, Purty tak mampu mempertahankan posisi GM Indonesia yang naik selama dipegang Mukiat sejak 2007 hingga 2011. Pada 2010 saja Mukiat mengaku telah mendorong GM Indonesia naik ke posisi 12 dari peringkat 30 industri otomotif nasional.
Pada tahun yang sama Mukiat juga berhasil membawa perusahaannya tumbuh 72 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan dengan tim terbaik yang pernah dimiliki GM Indonesia. Ya, sebuah tim yang akhirnya hilang tertelan ombak semangat pembaruan yang datang dari GM Asia Tenggara.
Alhasil, sejak September 2013 Purty pun harus melepaskan jabatannya. Pergantian ini hanya selang sebulan setelah pembawa ombak perubahan di GM Indonesia, Apfel, terhempas daro posisinya di Thailand.
Namun secara mengejutkan posisi Purty sebagai presiden direktur digantikan Michael Dunne. Lelaki ini dikenal luas di kalangan agen pemegang merek di Indonesia sebagai periset data dari Automotive Resources Asia (ARA).
Pendeknya, Dunne bukanlah praktisi marketing di lapangan. Dia memang diakui hebat dalam urusan membaca data riset. Bahkan buku berjudul “American Wheels, Chinese Roads: The Story of General Motors in China” yang ditulisnya bisa menjelaskan siapa Dunne.
Namun faktanya, keahlian membaca riset yang ditawarkan Dunne kepada GM Indonesia tak seindah kenyataan. Dunne pun harus terdepak dari posisinya seiring pengumuman penghentian operasional pabrik Pondok Ungu.
Kini pihak-pihak yang berada di GM Indonesia masih diam seribu bahasa. Hanya kalimat-kalimat pada siaran berita yang mereka ulang kali setiap ditanya media.
Belum jelas bagaimana nasib Spin di masa mendatang. Belum jelas pula akan seperti apa tanggung jawab GM terhadap mitra-mitra bisnisnya, terutama pemilik delaer yang telah menanamkan investasi puluhan hingga ratusan miliar rupiah demi meraih untung dari Spin?
Tapi yang sudah pasti adalah nasib 500 karyawan yang diberhentikan GM Indonesia. Kini mereka harus berpikir keras mencari pekerjaan baru demi menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Sebuah ongkos mahal dari ego perusahaan yang percaya bahwa profesional asing bisa lebih memahami kondisi pasar lokal Indonesia.
Penulis: Wisnu Guntoro Adi, Editor-in-Chief www.dapurpacu.com